Pages

Monday, 19 April 2010

Freakout, Ikon Distro Tangerang

Tangerang (20/4) – Menjalani bisnis berupa distribution outlet atau distro di Tangerang menjadi hal yang susah-susah gampang. Usaha ini kerap terlihat kembang kempis. Hal ini bisa kita lihat dari eksistensi distro-distro yang ada di Tangerang. Mereka bermunculan begitu cepat, namun tidak bisa mempertahankan keberadaannya.

Pada kurun 2002 sampai 2004 Tangerang memiliki Orion (Ciledug), Robble (Perum), Pipe Bomb (Perum), dan Freakout (Kelapa Dua). Dari empat nama tersebut hanya Freakout yang mampu bertahan. Akhir 2004 hingga 2008 terdapat D’fat, dan 18Distric di perumahan Harapan Kita. Didukung modal yang kuat 18Distric (baca: eighteen district) hamper ideal untuk menjadi icon bisnis distro di Tangerang.

Meski begitu 18Distric menjual produk yang bukan original merk dagang mereka. Terdapat Ouval Research, Eat 347, atau brand seperti Black ID, yang notabene produk “jadi” asal Bandung. Realitas seperti inilah yang menjadi masalah distro Tangerang. Mereka mendirikan outlet, namun didalamnya menjual karya milik orang lain. 18Ditric pun tutup dan diganti dengan Raxzel.

Ialah Freakout yang bisa mempertahankan eksistensinya dari awal 2002 hingga sekarang. Erik, owner Freakout berpendapat, di Tangerang memang banyak distro bermunculan namun mereka tidak memiliki ke-khasan karena menjual dagangan orang lain.

“Distro di Tangerang menjual baju atau aksesoris yang merupakan merk bandung. Lalu apa bedanya membeli barang mereka dengan barang-barang di distro lain dengan merk yang sama? Kita harus mempunyai ciri khas” ujar Erik, yang juga lulusan IKJ.

Erik mengaku mendirikan Freakout sejak ia menjadi mahasiswa IKJ. Selain belajar mandiri, dengan membuka distro ia juga mencoba berwirausaha. Freakout memiliki produk seperti kemeja casual, topi, tas, baju, serta celana, yang kesemuanya bermerk Freakout.

Menurut Erik membuka usaha distro tidak melulu bicara uang. Pemilik distro juga harus mengerti bahan-bahan untuk membuat pakaian, mengerti tentang desain, serta mau turun langsung ke lapangan. Ketiga hal ini diyakini bisa menjaga keberlangsungan usaha mereka.

“Pemilik distro di Tangerang terlalu cepat puas dengan apa yang mereka lakukan. Membuka distro dianggap menjadi kebanggaan, namun apakah mereka mengerti bahan untuk membuat pakaian? Dan apakah para owner distro mau memanggul sendiri beberapa kodi bahan?” tambah Erik.(lufthi)

No comments:

Post a Comment